Home

01 Mei 2011

Asal Mula Mahluk Hidup


Sejak beberapa abad yang silam, masalah yang sangat menarik perhatian adalah pertanyaan : “Bagaimana mulainya awal kehidupan ini”? pertanyaan itu sampai beberapa generasi tetap menjadi perhatian para ahli Biologi, tetapi baru ada dua jawaban yang di peroleh. Pertama, bahwa kehidupan ini pada mulanya telah diciptakan secara tidak alami. Sedangkan jawaban yang kedua, bahwa kehidupan itu timbul dari benda mati (abiogenesis).
Teori yang kedua ini pada mulanya dilontarkan oleh seorang bangsa yunani bernama Aristoteles (384-322 SM). Ia berpendapat: “Mahluk hidup berasal dari benda mati yang timbul secara spontan karena adanya gaya hidup”.
Ilmu pengetahuan semakin lama semakin tinggi akhirnya ditemukan sebuah metode baru yang menganggap bahwa asal mula kehidupan termasuk problem sains. Artinya bahwa peristiwa itu termasuk wilayah ilmu pengetahuan alam. Tetapi kendati teori tentang asal mula kehidupan itu telah ada, dan fakta-faktanya telah diatur secara sistematik, namun yang jelas bahwa ia tidak timbul dengan sendirinya bahkan perlu adanya usaha untuk menciptakannya.
Oparin seorang ahli Biokimia berkebangsaan Rusia membuat kejutan pertama dalam bukunya yang berjudul “Asal Kehidupan (1936)”. Di dalam buku tersebut memuat dalil-dalil yang tegas dalam masalah itu dan memuaskan dan tetap merupakan prinsip yang mendasari pengetahuan berikutnya yang dihasilkan oleh para biologi dibelakangnya. Namanya manusia, betapapun pintarnya, sewaktu-waktu tidak mustahil akan keliru, kecuali para Nabi. Apa-apa yang telah dilontarkan oleh Oparin itu, rupanya sampai saat sekarang masih banyak yang bisa di kritik, lebih-lebih dengan terciptanya alat-alat canggih yang serba ajaib.
Untuk memahami asal mula kehidupan ini, telah banyak pendekatan-pendekatan ilmiah, meskipun arahnya banyak berbeda, sehingga diambil keputusan terakhir dengan cara mengadakan sorotan atas banyak segi-segi yang kompleks.
Bilamana teori tentang terjadinya makhluk hidup berasal dari benda mati itu kita teriama, maka boleh jadi besok lusa kita dituntut untuk menciptakan satu makhluk hidup, sekalipun yang sangat sederhana. Oleh karena hal itu terlalu jauh untuk kita melaksanakan, kita yakin tak seorangpun yang sanggup untuk unjuk gigi. Diantara jawaban-jawaban tentang problema dari mana asal kehidupan itu, ialah bahwa kehidupan itu diciptakan, maka jawaban inilah yang dianggap merupakan kontradiksi yang cukup menarik antara alam dan tekhnologi.
Bilamana perkara asal kehidupan yang dibicarakan dalam Alqur’an itu belum juga memberikan jawaban dan keyakinan yang penuh, maka samalah artinya Alqur’an itu sendiri memberi alat buat menghancurkan dirinya. Sebab kitab suci itu akan tetap utuh sampai dunia itu berakhir bahkan sampai di surga nanti. Sedangkan apabila nanti sains sudah dapat membuktikan bahwa apa yang dikatakan Alqur’an itu tidak membuktikan tidak benar, maka akan selesailah perkara iman itu seluruhnya. Tetapi yang berbicara/berfirman disini adalah Allah Yang Maha Kuasa dan mengetahui segala rahasia ciptaanya, dengan gaya bahasa yang khas  dan menarik yang enak kedengarannya sejak zaman unta sampai zaman tekhnologi canggih sekarang ini bahkan seterusnya.
Cuma yang kita sayangkan bahwa umat Islam telah didahului beberapa langkah oleh orang-orang non Islam untuk berpikir dan mengobservasi dibidang ini. Padahal Alqur’an sejak 14 abad yang silam dengan eksplisit memberikan koreksi total atas kekeliruan Aristoteles ahli pikir Yunani yang terkenal itu.
Kalau kita buka kitab Injil Perjanjian Lama, yaitu Kitab kejadian pasal 11, 12 ayat 20 dan 21, secara khusus memuat mitos-mitos tentang penciptaan alam. Umpamanya pada hari ketiga sejak dimulainya penciptaan, mulai membangkitkan makhluk hidup. Tuhan memulai dengan ikan-ikan dan burung-burung, lalu binatang-binatang darat dan akhirnya manusia. Oleh karena sebagian kaum terpelajar, hanya mau menerima apa yang bisa ditangkap oleh indranya saja, maka mereka sementara waktu cenderung untuk membeberkan bahwa hidup ini secara teratur terpancar dari benda mati. Sebagai contoh mereka mengemukakan yang mudah-mudah saja, seperti larva lalat keluar dari dalam daging busuk, cacing keluar dari tanah, tikus dari tumpukan sampah dan lain-lain.
Pendapat inilah akhirnya yang terkenal dengan sebutan teori Generatio Spontanea (kelahiran spontan), yang dilontarkan pertama kali oleh Aristoteles. Keyakinan seperti itu diterima oleh banyak orang-orang besar tanpa banyak komentar. Pendukung pendapat itu seperti Newton, Van Helmont, Dekart dan lain-lain. Malah John Tarfel Nidham dari pengikut Yesus Kritus membela keyakinan tersebut dengan mengadakan eksperimen. Karena pandangan seperti itu dianggap mutlak kebenarannya oleh orang-orang ilmuwan ulung, sementara waktu orang tak berani menuduh salah. Mereka menerima secara sugesti.
Tetapi karena kecerdasan semakin hari semakin tinggi, lama-lama pendapat itu disanggah juga. Maka terjadilah pro dan kontra. Perdebatan serupun tak dapat dihindari. Perang observasi dan eksperimen segera berkobar pada banyak laboraturium. Masing-masing pihak sama-sama menginginkan kebenaran untuk pendapatnya. Perang tanpa senjata api itu lama juga berlangsung. Senjatanya adalah alat yang mereka ciptakan sendiri untuk memproleh kenyataan, pelurunya adalah argumentasi dari masing-masing pihak.
Pada tahun 1668 seorang filosof bangsa Itali bernama Fransisco Redi m engadakan eksperimen. Beberapa tabung kaca diisi dengan keratan daging. Sebagian ditutup rapat sedangkan yang sebagian lagi dibiarkan terbuka. Hasilnya, pada tabung yang terbuka ditemukan banyak larva, sedangkan tabung yang tertutup tidak ada larva. Kesimpulan percobaan Redi, bahwa larva bukan berasal dari daging yang busuk, tetapi dari telur lalat yang masuk kedalam ke dalam tabung.
Faham abiogenesis hampir saja roboh oleh Redi dengan kenyataan yang tampak pada pada percobaan itu.
Pendukung abiogenesis berontak lagi dengan dalih: ”Kehidupan tidak terjadi pada tabung yang tertutup karena tidak ada kontak udara, mengakibatkan tidak adanya gaya hidup”.
Redi mengadakan percobaan lagi, tabung yang berisi keratan daging di tutup dengan kain kasa, supaya bisa kontak dengan udara di luar, tetapi lalat tidak bisa masuk. Setelah beberapa hari, diperiksa ternyata tidak ditemukan larva pada daging yang membusuk. Redi berkesimpulan bahwa tidak benar makhluk  hidup berasal benda mati. Inilah serangan kedua dari Redi terhadap teori abiogenesis. Berarti larva yang ada pada daging yang membusuk bukan berasal dari daging itu, tetapi telur lalat yang hinggap padanya.
Pendukung teori abiogenesis bertahan mengatakan: “Redi tidak menunjukan bukti yang nyata bahwa ada makhluk hidup pada potongan daging yang busuk itu”.
Sesudah itu pada abad berikutnya tampil lagi seorang filosof Itali bernama Von Lazaro Spalanzi (1929-1799). Dia dengan berani menolak faham abiogenesis setelah mengadakan eksperimen. Dengan tegas dia mengatakan bahwa kuar daging yang penuh gizi, bila tidak terkena udara dalam keadaan mendidih, tidak akan menampakan adanya jasad-jasad renik sama sekali, sehingga dengan demikian tidak akan rusak akibat pembusukan.
Pendapat itu ditolak oleh Nildham ahli teologi Inggris, bahwa derajat panas yang sangat tinggi, menyebabkan larva daging tidak bisa hidup, dan membuat udara di atasnya tidak cocok untu kehidupan, berarti tidak ada gaya hidup.
Spalanzi agaknya masih bisa merobohkan sendi-sendi tantangan Nildham, dengan jalan membuka tutup tabung kacanya agar udara bisa masuk. Tak lama kemudian kuah daging itu menjadi busuk. Cuma sayangnya dia belum mendapat jalan lain untuk mepertegas bahwa udara dalam tabung tertutup itu tidak ikut rusak.
Barulah pada tahun 1860 maju filosofi Itali yang lain Louis Pasteur (1822-1895). Ia mengulangi percobaan Spalanzi dengan sederhana, maka ditemukan jalan keluar yang terakhir dari problema Generatio Spontanea itu. Alat yang digunakan adalah botol yang diisi kuah daging bergizi. Leher botol itu ditutup, dia buat bengkok-bengkok menyerupai huruf “S” sedang kedua ujungnya tetap terbuka supaya bisa dimasuki udara bebas. Dengan demikian udara bisa masuk leluasa kedalam botol itu, Cuma tertahan di leher botol yang meliuk. Akibatnya sedikit molekul udara ataupun lainya yang dapat menyentuh kuah daging tersebut. Ternyata keratan daging itu tidak banyak terganggu, dan kelihatannya tetap segar sampai beberapa lama.
Dengan demikian, dijumpailah titik terang yang merupakan pemecahan terakhir dari problema abiogenesis itu. Tetapi walaupun begitu, bakan berarti bahwa persoalan itu sudah selesai sampai disitu. Para penentang muncul lagi. Felix Phuset seorang ahli Fisika bangsa Prancis menghantam gagasan pasteur dengan alasan-alasan yang bermacam-macam. Diamengajukan alasan-alasan tersebut, kepada Akademi Ilmu Pengetahuan Prancis. Ada hikmahnya juga, karena hal itu menjadi ilham Pasteur untuk mengadakan penyidikan yang lebih teliti lagi. Yang benar pasti menang. Untuk kesekian kalinya teori “klahiran spontan” itu dipertahankan, tetapi akhirnya dia pun harus lumpuh, dan menyerah pada kenyataannya. Dengan patahnya sendi-sendi kekuatannya, dia tidak bisa bangkit lagi. Lebih dari dua abad lamanya diperdebatkan, akhirnya sirnalah ia kemudian tidak kelihatan tanda-tandanya lagi.
Kisah singkat tentang perang observasi, dan pertandingan eksperimen itu sengaja saya muat disini, dengan maksud supaya tergambar bagi kita, bagaimana akal mendesak kepercayaan. Padahal kita yang beriman, cukuplah “iman”. Iman pada terjadinya penciptaan tidak alami yang boleh dikatakan merupakan peristiwa yang hanya satu kali saja terjadi, mendasari kelahiran berikutnya. Sebagaimana iman kita pada penciptaan Nabi Adam As, sebagai manusia pertama, kemudian melahirkan manusia-manusia berikutnya. Allah maha Kuasa berbuat sekehendaknya. Saya kira tidak ada pilihan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar